Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyarankan agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah dibubarkan karena banyak putusannya yang kontroversial karena membebaskan banyak terdakwa kasus-kasus korupsi.
Menurut Mahfud, membubarkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah merupakan pilihan politik hukum pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Pilihan politik hukum ini menurut Mahfud, sama dengan yang diambil pemerintah dan DPR ketika membentuk Pengadilan Tipikor di daerah.
Mahfud mengatakan, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah sebenarnya bukanlah perintah Mahkamah Konstitusi. Bila dirunut dari sejarahnya, pembentukan Pengadilan Tipikor daerah ini awalnya berasal dari putusan judicial review Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006 silam.
Saat itu mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah dan Nazaruddin Syamsuddin mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
MK dalam putusannya kemudian mengabulkan sebagian gugatan pemohon, yakni membatalkan pembentukan Pengadilan Tipikor yang diatur dalam Pasal 53 UU No. 30/2002.
Ketua MK saat itu Jimly Asshiddiqie menilai, keberadaan Pengadilan Tipikor di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertentangan dengan UUD 1945 karena menyebabkan dualisme peradilan. MK kemudian meminta agar Pengadilan Tipikor dibuat dengan UU tersendiri.
MK memberi waktu tiga tahun bagi DPR dan pemerintah menyusun UU tentang Pengadilan Tipikor. Mahfud mengatakan, yang dimaksud MK sebenarnya adalah membuat dasar konstitusional untuk Pengadilan Tipikor di Jakarta, bukan meminta pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah.
"Dasar membuat Pengadilan Tipikor di daerah itu di luar putusan MK. Itu pilihan politik hukum. Dan sekarang dengan kenyataan bahwa kualitas Pengadilan Tipikor daerah ternyata lebih jelek dari pengadilan umum, seharusnya keputusan itu bisa dicabut lagi. Ini juga pilihan politik hukum. Bisa diubah dengan membuat UU yang baru," katanya.
Lantas bagaimana dengan nasib hakim karir maupun adhoc di Pengadilan Tipikor daerah? "Kalau yang karir ya dikembalikan lagi ke pengadilan umum, sementara yang adhoc tunggu saja sampai masa tugas mereka berakhir. Tak perlu direkrut lagi," kata Mahfud.
Terlebih menurut Mahfud, seleksi terhadap hakim Pengadilan Tipikor di daerah dilakukan asal-asalan. Malah lanjut dia, kesannya hanya diperuntukan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan.
"Seleksinya tidak selektif dan ketat, sehingga terkesan hakim Pengadilan Tipikor daerah ini hanya pencari pekerjaan, lalu banyak bersekongkol dan profesionalitasnya tak ada," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, membubarkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah merupakan pilihan politik hukum pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Pilihan politik hukum ini menurut Mahfud, sama dengan yang diambil pemerintah dan DPR ketika membentuk Pengadilan Tipikor di daerah.
Mahfud mengatakan, pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah sebenarnya bukanlah perintah Mahkamah Konstitusi. Bila dirunut dari sejarahnya, pembentukan Pengadilan Tipikor daerah ini awalnya berasal dari putusan judicial review Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006 silam.
Saat itu mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah dan Nazaruddin Syamsuddin mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
MK dalam putusannya kemudian mengabulkan sebagian gugatan pemohon, yakni membatalkan pembentukan Pengadilan Tipikor yang diatur dalam Pasal 53 UU No. 30/2002.
Ketua MK saat itu Jimly Asshiddiqie menilai, keberadaan Pengadilan Tipikor di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertentangan dengan UUD 1945 karena menyebabkan dualisme peradilan. MK kemudian meminta agar Pengadilan Tipikor dibuat dengan UU tersendiri.
MK memberi waktu tiga tahun bagi DPR dan pemerintah menyusun UU tentang Pengadilan Tipikor. Mahfud mengatakan, yang dimaksud MK sebenarnya adalah membuat dasar konstitusional untuk Pengadilan Tipikor di Jakarta, bukan meminta pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah.
"Dasar membuat Pengadilan Tipikor di daerah itu di luar putusan MK. Itu pilihan politik hukum. Dan sekarang dengan kenyataan bahwa kualitas Pengadilan Tipikor daerah ternyata lebih jelek dari pengadilan umum, seharusnya keputusan itu bisa dicabut lagi. Ini juga pilihan politik hukum. Bisa diubah dengan membuat UU yang baru," katanya.
Lantas bagaimana dengan nasib hakim karir maupun adhoc di Pengadilan Tipikor daerah? "Kalau yang karir ya dikembalikan lagi ke pengadilan umum, sementara yang adhoc tunggu saja sampai masa tugas mereka berakhir. Tak perlu direkrut lagi," kata Mahfud.
Terlebih menurut Mahfud, seleksi terhadap hakim Pengadilan Tipikor di daerah dilakukan asal-asalan. Malah lanjut dia, kesannya hanya diperuntukan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan.
"Seleksinya tidak selektif dan ketat, sehingga terkesan hakim Pengadilan Tipikor daerah ini hanya pencari pekerjaan, lalu banyak bersekongkol dan profesionalitasnya tak ada," kata Mahfud.